Tentunya pemandangan berbeda akan Anda rasakan ketika berwisata ke gua ini. Untuk membantu menyusuri gua, disarankan untuk membawa alat penerangan. Jika Anda baru pertama kali datang ke Tiangko, sebaiknya menggunakan jasa pemandu gua agar Anda tidak tersesat.

Memasuki kawasan gua, Anda akan langsung disambut semilir angin dan udara sejuk yang masih asri dan bebas polusi. Gua ini merupakan bagian dari Cagar Alam Gua Ulu Tiangko yang menjadi habitat walet dan kelelawar. Secara ekonomi, habitat ini penting bagi masyarakat sekitar sebagai salah satu sumber mata pencaharian utama penduduk.
Lantai gua merupakan pasir putih bebatuan dengan mulut gua yang berukuran besar sehingga membuat gua ini tidak terlalu gelap. Lembab dan udara sejuk menyeruak ketika memasuki gua dan terdengar suara tetesan air yang jatuh ke bebatuan. Seperti sambutan perpaduan nyanyian alam bukan?
Seperti gua pada umumnya, Gua Ulu Tiangko juga ditemukan batu kapiler yang berfungsi untuk membentuk stalagtit dan stalagmit dengan berbagai bentuk dan ukuran yang menakjubkan. Dindingnya berbentuk cerukan yang sudah ditumbuhi lumut dengan langit-langitnya yang ramai dengan gelantungan sarang burung walet dan kelelawar. Uniknya ekosistem yang terdapat di dalamnya membentuk jaringan gua bawah tanah yang rumit seperti labirin. Gua Ulu Tiangko adalah pemukiman tertua di Jambi, pernyataan ini disampaikan dalam hasil penelitian sekitar tahun 1974 oleh Bennet Bronson dan Teguh Amat. Penemuan tersebut berupa lapisan tembikar dengan berbagai alat obsidian pada bagian bawah.
Anda juga bisa menikmati keindahan sungai bawah tanah, struktur olahan manusia purba seperti grafiti dan ruangan seperti tempat ibadah, keberadaan satwa unik dan aneh serta berbagai kekhasan lainnya. Setelah letih mengelilingi goa, tidak ada salahnya Anda berkeliling sungai Manau yang tak kalah indahnya (http://www.gosumatra.com/gua-ulu-tiangko-jambi/)
Sementara
Goa Tiangko, terletak di Dusun Tiangko Panjang, Kecamatan Sungai Manau. Gua ini
luasnya sekira 200 meter persegi, lebar 10 meter dan kedalaman 23 meter. Untuk
luas wilayah secara keseluruhan sekitar 1,5 hektare.
Untuk
mencapainya harus melalui perjalanan sekira dua jam dari Kota Bangko. Anda
terlebih dahulu menuju Sungai Manau, kemudian masuk ke Simpang Tiangko. Dari
simpang itu, hanya 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan roda empat atau
roda dua. "Di
wilayah Sungai Manau banyak terdapat gua. Sebenarnya ada sekitar 60 gua di
wilayah tersebut, tapi hanya beberapa yang banyak dikenal orang," kata
Jangci Moza.
Dia
mengatakan, lokasi gua-gua tersebut saat ini telah diawasi BPCB Jambi, karena
menjadi tempat penellitian (http://jambi.tribunnews.com/2015/10/10/ada-goa-dengan-susunan-batu-cavalier-di-sungai-manau-merangin) Cagar
Alam Gua Ulu Tiangko terletak di desa Tiangko Panjang Kecamatan Sungai Manau,
Kabupaten Merangin, Jambi. Cagar alam ini berupa goa dengan luasan yang cukup
kecil, yakni hanya 1 Ha. Namun, cagar alam Gua Ulu Tiangko memiliki keunikan
ekosistem karena goa yang terdapat didalamnya membentuk jaringan goa bawah
tanah yang rumit seperti labirin. Bentuk seperti ini rentan terhadap kerusakan dan
apabila terjadi kerusakan di satu tempat maka akan berakibat langsung pada
tempat lain.
Cagar alam Gua Ulu Tiangko berbatasan langsung dengan sawah milik warga setempat. Batas utara, barat, selatan hingga batas timur Cagar Alam Gua Ulu Tiangko ialah persawahan warga. Batas-batas kawasan cagar alam hanya berupa patok kayu yang baru dibuat dalam 3 tahun terakhir, yaitu sebelum tahun 2006. Pintu masuk menuju cagar alam ini hanya ada satu, yakni di sebelah timur yang juga merupakan sawah. Bagian luar dari perguaan terdapat sebuah aula besar yang dahulunya dianggap sebagai tempat berkumpul para bangsawan atau raja-raja (Datuk 2009). Lebar mulut goa utama tidak lebih dari 1 meter. Cukup sulit untuk memasuki goa ini karena ada beberapa ruang yang mengharuskan untuk berjongkok agar mudah menelusurinya. Selain itu, banyaknya guano di goa terakhir dan sempitnya mulut goa tersebut membuat Cagar alam ini memiliki ciri khas tersendiri.
Secara ekologi, Cagar Alam Gua Ulu Tiangko merupakan habitat walet dan kelelawar dan memiliki peranan penting baik bagi masyarakat sekitar maupun makhluk hidup lain yang terdapat di dalamnya. Secara ekonomi dan sosial, keberadaan Cagar Alam Gua Ulu Tiangko mampu menjadi mata pencarian penduduk sekitar. Akan tetapi, mengingat banyaknya cagar alam yang rusak serta kurang diketahuinya manfaat cagar alam Gua Tiangko dari berbagai sisi, cagar alam ini perlu mendapat perhatian khusus.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah, dampak nyata pelaksanaan otonomi daerah ternyata menjadi titik kritis bagi pemanfaatan sumberdaya alam dan harus mendapatkan perhatian serius (Rahmiyati 2006). Besarnya pemanfaatan sumberdaya alam akan menentukan besarnya tingkat kontribusi yang diberikan sebagai modal dasar bagi pembangunan. Dengan kata lain, besarnya pendapatan dan penerimaan suatu daerah dari pemanfaatan sumberdaya alam menjadi penentu pembangunan yang ada di daerah tersebut. Sebagai masyarakat yang dekat dengan kawasan hutan dan merasa kawasan tersebut “tidak berpenghuni” (Wiyono 2006), masyarakat berinisiatif menjadikan kawasan ini sebagai salah satu objek wisata. Hal ini diperkuat dengan banyaknya kunjungan rutin yang dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menikmati keindahan Gua Ulu Tiangko sehinnga mendorong Pemerintah Desa untuk membuat beberapa aturan dan penarikan retribusi bagi kawasan. Namun keadaan ini bertentangan dengan UU No. 5 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati, bahwa di dalam kawasan cagar alam tidak diperkenankan adanya kegiatan atau aktivitas wisata alam seperti wisata massal.
Menurut Brown (2004) dalam Yuliani dan Tadjudin (2006) jumlah rakyat Indonesia yang tinggal di kawasan hutan mencapai 48,8 juta orang dan 10,2 juta diantaranya hidup dalam kemiskinan. Penduduk Desa Sungai Manau sekitar 6.938 rumah tangga (Dinas Kesehatan Merangin 2007) dan yang tinggal di dekat kawasan Cagar alam rata-rata memiliki mata pencarian sebagai petani dengan tingkat pendapatan yang cukup rendah. Keadaan ini juga merupakan salah satu pendorong dilakukannya aktivitas wisata di kawasan Cagar Alam.
Yang menjadi permasalahan utama di Cagar Alam Gua Ulu Tiangko ialah adanya aktivitas wisata yang dapat menimbulkan berbagai dampak bagi lingkungan Cagar Alam maupun masyarakat. Disamping itu, kegiatan wisata tersebut masih bersifat illegal, atau tidak mendapat persetujuan dari pemerintah yang sah atau yang bertanggung jawab atas cagar alam.
Permasalahan lain dalam pengelolaan Cagar alam ini ialah belum juga ada dana kompensasi yang diperuntukkan khusus masyarakat setempat untuk mengembangkan usahanya. Kompensasi yang dimaksud ialah sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat setelah terbentuknya goa Tiangko sebagai kawasan cagar alam. Selama ini, pengurus BKSDA hanya berbicara dari mulut ke mulut saja. Belum ada tindakan nyata yang dilakukan BKSDA untuk membantu meningkatkan pendapatan masyarakat atas terbentuknya cagar alam. Hal ini juga menjadi salah satu faktor pendorong dilakukannya kegiatan wisata missal di dalam kawasan cagar alam tanpa dikontrol langsung oleh pihak BKSDA.
Meskipun demikian, segala bentuk tindakan dan aktivitas yang berada di dalam kawasan milik Negara tetap harus disetujui dan diketahui secara hukum dan tertulis oleh pemerintah. Karena tindakan penduduk setempat menjadikan kawasan cagar alam sebagai salah satu areal perwisataan bagi penduduk dengan alasan apapun, penduduk tetap dianggap melakukan tindakan illegal. Terlebih lagi yang dijadikan areal wisata massal ialah kawasan yang dilarang dilakukan kegiatan wisata missal di dalamnya.http://sylvindonesia.blogspot.co.id/2011/06/tinjauan-aspek-hukum-dan kebijakan.html




Tidak ada komentar:
Posting Komentar